Kamis, 01 September 2011

Tidak Legowo Mencari Kebenaran (Muhammadiyah-NU)

Muhammadiyah dan NU (Organisasi Islam yang Saling Mengaku Benar) 
TIDAK LEGOWO MENCARI KEBENARAN
Perbedaan yang semakin tajam antara Muhammadiyah dengan NU semakin membuat  masyarakat Islam Indonesia dibuat pusing dan bisa berakibat tidak semakin terpecahnya umat karena ambisius "kebenaran" yang di "anjung" oleh dua organisasi Islam. Kalau orientasinya akhirat dan Rahmat Allah, bagusnya kedua organisasi ini duduk satu meja dengan kepala dingin untuk mencari kebenaran, bukan mencari siapa yang benar. 
Coba disimak, apa pendapat JIL lewat tulisan yang saya kutip dari sdr.  Herianto.......Gawat...Persaingan dua organisasi Islam Indonesia akan membuat mudah terjadinya pengkafiran secara intelektual masyarakat.... 

Herianto.......(http://herianto.wordpress.com/2007/07/18/muhammadiyah-vs-nu-siapa-tradisional-siapa-modern/) dia mengatakan:

Dahulu muhammadiyah dikenal sebagai organisasi (gerakan) Islam yang lebih modern ketimbang NU yang disebut-sebut organisasi Islam Tradisional. Ini sering dijadikan premis yang [kadangkala] dimanfaatkan oleh teman-teman Muhammadiyah untuk memperlihatkan bahwa kelompoknya lebih baik (baca : lebih maju/modern). Kenapa ? Karena Muhammadiyah merasa lebih menggunakan pemahaman terbaru dalam hal pemikiran keagamaan [Islam] yang tidak condong ke mazhab tertentu (Entah kenapa sikap netral ini dahulu menjadi dianggap pilihan orang-orang modern) dan lebih membuka pintu ijtihad (peran akal) di dalam fatwa-fatwa keagamaannya. Lalu NU, kesan dominasi para Kiai (teokrat ?) dan optimalnya penggunaan kitab kuning (warisan ulama masa lalu) membuat kelompok ini wajar dimasukkan ke kelompok tradisional waktu itu.
Lalu apakah dikotomi seperti ini sekarang masih relavan ?
Ketika istilah Islam kontekstual diperkenalkan, dikotomi seperti ini mulai mencair. Fakta dan sejumlah kajian justru memperlihatkan bahwa Islam model NU jauh lebih kontekstual dibanding Islam model Muhammadiyah, yang justru bisa saja disebut lebih literal. Lalu ketika aliran kontekstual dikait2kan dengan suatu pemahaman yang modern dan literal dianggap sebagai pemahaman yang sifatnya ketertinggalan (kuno), maka dikotomi di atas menjadi berbalik. Muhammadiyah menjadi tradisional dan NU justru yang modern. Fenomena keterbalikan skor ini menjadi bertambah tajam ketika orang-orang NU mengaku bahwa Islamnya adalah Islam substantif dan yang lain [kebanyakan] Islamnya masih Islam simbolik. Akibatnya bertambahlah “kecongkaan“ atas “pengakuan” ke-modern-an si NU. Ini wajar karena akibat dari julukan kekolotan (tradisional) sebelumnya membuat keterperanjatan mereka atas “titel baru“ modern itu membentuk sinyal “impuls“.
Selanjutnya ketika aliran dengan klasifikasi modern dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik, maka sejumlah anak-anak muda masa kini mulai mengalihkan perhatiannya ke Islam model NU. Istilah mereka Islam yang lebih meng-Indonesia dan tidak sok kearab-araban. Kelompok anak-anak muda dari NU sendiri akhirnya membentuk grup (karena ternyata sebagian kiai NU merasa terusik dengan gebrakan mreka) yang [tentu saja] demi optimalnya gerakan pemahaman mereka lalu mempopulerkan istilah : Islam Liberal. Secara struktural, gerakan ini berlabel : JIL. Teman-teman lain ada yang mem-plesetkan ini dengan kepanjangan : Jaringan Iblis Liberal. Ada benarnya sih, karena akibat dangkalnya kedalaman akal-akalan sebagian dari mereka, iblis pun menjadi lebih mudah memainkan perannya. Yah…, dari sini jadi ketauan nih aliran pemikiran saya. Tapi kenapa ? Berikut alasannya.
Kontekstual vs Literal
Pada akhirnya pemilik postingan ini harus memperlihatkan pijakannya. Netral ternyata tak mesti dikaitkan dengan kebaikan apalagi pilihan modern. Bukankah prilaku “Bunglon” dan “Netral” seringkali memperlihatkan hasil yang sama, yaitu : fenomena “cari aman”.
Begini,
Ada dua kelompok ekstrim dalam hal ini. Ada yang ekstrim kontekstual dan ada yang ekstrim literal. Gerakan Islam Liberal adalah representasi dari ekstrim kontekstual, lalu teman2 yang menyebut dirinya dengan pengikut Salafy adalah representasi dari Islam literal. Biasanya para pendukung Islam liberal protes bahwa tidak semua mereka dominan (murni) di gerakan kontekstual, sebaliknya justru jarang sekali teman2 Salafy yang protes tentang tuduhan terhadap ke-literal-an mereka. Kenapa ? Karena pada umumnya mereka tidak mau tau dengan istilah literal tersebut, apalagi [mnurut mereka] tidak ada rujukannya dari ulama2 masa lalu (as-salaf) yang mereka “kultuskan”.
Mengacu ke hipotesis tersebut di atas, kedua kelompok ini pun [dihipotesa] suatu ketika akan “keluar” dari pemahaman ekstrimnya masing2, lalu mencapai satu titik “syar’i” bersama, yaitu terjadinya : konvergensi antara metoda kontekstual dan literal.
Manfaat Kebebasan (Liberal)
Kebebasan semestinya bermanfaat, tetapi ternyata kbanyakan dimanfaatkan. Hakekat kelompok liberal sesungguhnya bukan masalah kontekstual semata, ilham dari gerakan mereka tentu seperti dari rujukan namanya : liberal (bebas). Entah darimana asal-muasalnya, mereka2 yang ekstrim dari kelompok ini menjadi menafikan kepentingan amar ma’ruf nahi munkar. Istilah-istilah seperti : Kebenaran adalah milik Tuhan, sesama manusia jangan mem-vonis, Siapa yang tahu batas akal, dan sebagainya, dan sebagainya, sering dijadikan dalih bahkan larangan bagi orang lain untuk berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar). Mulanya mereka2 ini sekedar melarang (menyebar opini negatif) dakwah dengan kekerasan, lama kelamaan mereka2 yg ekstrim dari kelompok ini juga mencemo’oh dakwah dialogis, terutama ktika ketersudutan “vonis-syar’i” tak mampu dilawannya dengan argumen akal yang mengaku tak tahu batasnya itu.
Perhatikan bahwa postingan ini berakhir dengan melupakan tema dikotomi : Muhammadiyah vs NU di atas.
Pengakhiran
[1] Muhammadiyah dan NU adalah 2 (dua) kelompok/organisasi Islam terbesar di negeri ini, kemudian belakangan muncul juga kelompok lain dalam bentuk jema’ah dan/atau gerakan. Citra positifnya adalah mereka bekerja, sedangkan citra negatifnya adalah : adanya fenomena saling serang/melemahkan.
Munculnya kelompok2 lain di luar Muhammadiyah dan NU di negeri ini semakin mengukuhkan (mempertajam) citra positif dan negatif di atas.
Kriteria kbaikan dalam hal ini [tentu] adalah seberapa banyak amal shaleh yang sempat dilakukan (fastabiqul khairat) dan seberapa mau kelompok2 itu bkerja sama.
Bersikap “Netral” bisa saja baik, tapi kalo tanpa amal [shaleh] dan sekedar mencari aman, tentu gugurlah kbaikan itu. Banyak fakta membuktikan, bahwa sulit sekali beramal-shaleh dengan optimal tanpa kerja-sama atau tanpa keberadaan kelompok struktural tersebut.
[2] Dominan berpikir semata (minim kerja) akan membuat keberadaan kita sia-sia, sebaliknya dominan bekerja semata (minim pikir) akan membuat kita kelihatan “dungu” di kerja-kerja itu. Yang pertama tersebut, sepertinya mirip dengan prilaku “ekstrim kontekstual”, sedangkan yang kedua terkesan merupakan prilaku “ekstrim literal”.
[3] Lupakan ketajaman perbedaan di dikotomi : Muhammadiyah vs NU. Ada permasalahan akbar yang lebih urgen dikedepankan. Apa itu? Kebodohan dan ketertinggalan ummat.