Rabu, 17 Januari 2018

BAKUHAMPEH

BAKUHAMPEH
Dr. Dedi Hermon

Sebenarnya *bakuhampeh itu indah pada saat kita sikapi dengan rasa, baik rasa sayang, rasa senang, rasa percaya, rasa memahami, rasa mengayomi dan banyak rasa positif lainnya. Kalau rasa seperti itu terpupuk dalam hati kita, maka *bakuhampeh menjadi sesuatu debat dan diskusi yang menyejukan hati, menyenangkan telinga, dan mendinginkan kepala.
Manusia semuanya memiliki keterbatasan dan bermilyar kekurangan serta sedikit kelebihan. Dikatakan seorang individu memiliki kekurangan pada saat kita merasa diri kita lebih baik dari individu tersebut. Secara negatif akan menimbulkan sikap yang juga negatif, bagaimana individu tersebut bisa seperti kita, walaupun sebenarnya kita tidak tahu juga bahwa dibelakang kita mungkin ada ribuan orang yang juga sedang memperbincangkan kelemahan dan kekurangan kita. Hinaan, cercaan, dan praduga negatif muncul apabila kita tidak lagi mencintai individu tersebut, rasa sayang berganti dengan rasa benci akan menciptakan aura negatif dan komunikasi yang buruk, sehingga ego kita muncul (Ego: artinya: edan gelo orang).
Saya seorang anak mantan kepala desa, kepala desanya hanya berpendidikan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) dan tidak tamat. Masyarakat desa saya sangat heterogen pendidikannya, ada yang buta huruf, tidak tamat SD, tamat SMP. Sedangkan yang tamat SMA dan Perguruan Tinggi umumnya pergi merantau. Saya mengamati ketegasan kepala desa dalam memimpin dan saya pun tidak suka, walaupun beliau sebenarnya ayah saya. Masalah demi masalah mulai muncul, maklum masyarakat desa kami tidak suka pemimpin tegas, walaupun ketegasan itu untuk kepentingan seluruh masyarakat desa yang sangat heterogen pendidikannya serta pekerjaan nya. Penggalian pasir di sungai yang melewati desa kami sangat berdampak pada lahan lahan petani serta kerusakan tanah tanah masyarakat di pinggir sungai dan kerusakan satu satunya jalan yang menghubungkan desa kami dengan jalan utama. Sang kepala desa berembuk dengan semua perangkat desa dan tokoh tokoh masyarakat, menghasilkan satu keputusan, yaitu penggalian pasir dihentikan.
Yang protes siapa, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses penggalian pasir tersebut. Sang kepala desa di fitnah dan dihujat, tapi sang kepala desa tidak marah dan mengundang seluruh kelompok masyarakat yang protes tersebut untuk berdiskusi. Satu kata yang selalu terngiang di telinga saya, sang kepala desa berkata: Masyarakat desa kita bukan hanya kelompok anda para penggali pasir, di desa kita juga ada petani, pedagang, dan lain lain. Saya selaku kepala desa harus menyelamatkan semuanya, dan berusaha adil, walaupun anda anda mengatakan saya tidak adil, tapi saya yakin sudah berlaku adil dan saya siap mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah SWT.
Itulah pemimpin, tingkat pendidikan tidak menentukan kita baik dalam memimpin. Tingkat pendidikan tidak menentukan kita menjadi masyarakat yang baik. Tidak ada bukti ilmiah yang mengatakan seorang yang berpendidikan doktor dan profesor akan jauh lebih baik memimpin dari seorang yang tamat SMA. Yang baik memimpin itu dilihat dari hatinya, hatinya berkata, ini amanah dari Allah SWT. Hatinya membisikan ketidaksanggupan memegang amanah, jangan jadi pemimpin. Seperti Umar Bin Khatab yang menangis semalam suntuk saat ditunjuk secara aklamasi menjadi khalifah, beliau menangis karena takut menghadapi hisab Allah SWT. Bukan takut pada Camat, Bupati, Gubernur, dan Presiden. Bukan takut pada Ketua Jurusan, Dekan, dan Rektor. Kalau kita takut pada oknum oknum di atas, berarti kita:
1. Syirik, dosa besar yang tidak terampuni
2. Menjadi penjilat, sifat yang berbahaya, karena semua penjilat akan selalu berbuat zalim pada bawahan dan masyarakatnya
3. Selalu mengambil muka pada atasan, padahal tidak melakukan apa apa
4. Mementingkan diri sendiri, masyarakat biarlah melarat
5. Selalu bermanis mulut kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan bantuan masyarakat dan bawahan
Tapi, kalau kita takut pada Hisab Allah SWT, maka kita akan bersikap:
1. Seperti imam, kalau hati sang imam mengatakan ada makmum yang tidak setuju dia sebagai imam, sang imam akan mundur menjadi imam, kalau tetap dipaksakan saja jadi imam, maka akan banyak mudharat yang akan diperoleh imam.
2. Kebijakan yang diterapkan bermuara pada kemaslahatan umat, bukan untuk kejayaan kita individu, menonjolkan diri kita individu, pencitraan diri kita individu. Kalau itu yang terjadi dan dilakukan, kita termasuk orang yang sangat merugi, karena masyarakat semakin susah di bawah kepemimpinan kita.
3. Kalau ada kebijakan dari pimpinan tertinggi yang banyak merugikan masyarakat, maka kita sebagai bawahan bisa menantang dan mengatakan itu kebijakan licik dan salah, walaupun resikonya kita disingkirkan. Tapi yakinlah, selama kita menyuarakan kebenaran dan untuk kemaslahatan masyarakar, maka yang menyingkirkan kita adalah Setan, dan kita membuktikan pada Allah SWT, kita bukan berkomplot dengan Setan.
4. Kalau sudah banyak masyarakat mengeluh selama dibawah kepemimpinan kita, berarti kita harus merangkul masyarakat tersebut dengan hati yang mengalah dan kasih sayang.

.......alah lu tu, bakuhampeh lah, ponek ambo...18 Januari 2018...