Minggu, 04 Maret 2012

Negara tanpa (Warga).....Warga tanpa (Negara)

Negara tanpa (Warga).....Warga tanpa (Negara)


Negara yang sering mengabaikan kesejahteraan rakyat, hal ini membuat rakyat untuk berusaha memenuhi kebutuhan mereka sendiri, baik dari sisi ekonomi, keamanan, dan aspek-aspek kehidupan yang lain. Sepertinya, tak ada campur tangan negara sama sekali. Ambil contoh, kasus keamanan. Seringkali, masyarakat bergerak sendiri menyelesaikan masalah keamanan mereka, jika sudah terlalu besar dan berlarut-larut, aparat datang bak pahlawan untuk menyelesaikan masalah. Padahal, korban sudah berjatuhan. Lalu, pertanyaannya, buat apa pemerintahan ini? Buat apa kita hidup dalam suatu negara jika ternyata aparat pemerintahan yang ada didalamnya sibuk sendiri mengurusi masalah mereka?
Keberadaan suatu negara, melalui aparat pemerintahan, mengemban beberapa amanat: ketertiban, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran, serta keadilan, atau juga amanat-amanat lain sebagaimana yang diungkapkan oleh banyak tokoh. Barangkali, bukan pada sejauh mana kualitas dari keamanan, ketertiban, kesejahteraan, atau yang lainnya yang kita persoalkan, namun sejauh mana keseriusan aparat pemerintah dalam penyediaan itu semua.
Kita masih ingat bagaimana penduduk Mesuji harus berjuang sendirian hingga berdarah-darah dalam hal memperebutkan lahan. Setelah korban sudah berjatuhan, barulah aparat bertindak? Lalu, kemana saja mereka selama peristiwa itu terjadi? Tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Nampaknya, penyakit lama masih sering mendera aparat pemerintahan kita, yaitu bergerak ketika sudah ada korban. Ketika masih nampak baik-baik saja, aparat pun diam.
Terkadang, kita heran dan bertanya, kenapa masyarakat semakin suka bergerak sendiri? Kenapa aksi premanisme masih menjadi-jadi? Apakah benar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak tertib, masyarakat kita suka kekerasan?
Kita memang tidak bisa memiliki jawaban yang memuaskan. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, setidaknya ketidak percayaan pada pemerintah seringpula menjadi penyulutnya. Pemerintah sering alpa atau terlambat dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, masyarakat lebih memilih menggunakan cara-cara mereka sendiri ketimbang harus menunggu campur tangan pemerintah.
Akhir-akhir ini, pemerintah tampak semakin sibuk saja. Satu persatu aparat pemerintah tersandung masalah. Partai politik yang menjadi stakeholder pemerintahan pun tak kalah rumitnya. Jika sudah seperti ini, maka bisa kealpaan negara akan semakin menjadi-jadi. Masyarakat akan hidup dengan cara mereka sendiri. Menjadi warga negara yang tak butuh negara.


Agak susah menjadi warga negara Indonesia, jika tidak mau dibilang sangat susah. Susah karena kita dipagari dengan berbagai macam peraturan. Masyarakat diwajibkan untuk berhemat, saling bertenggang rasa, dan konsepsi-konsepsi ideal kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.
Semua peraturan itu memang cukup bagus dan patut kita dukung. Siapa sih yang tidak mengharapkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik? Namun sayang, mayoritas peraturan itu hanya berlaku untuk masyarakat kecil, bukan untuk mereka yang memiliki jabatan.
Seringkali terlihat adanya ketidak harmonisan antara apa yang di maui oleh pemerintah dan apa yang mereka sendiri lakukan. Ketika masyarakat diminta untuk melakukan penghematan, pemerintah mencontohkan pemborosan. Ketika masyarakat diminta untuk saling berdamai, pemerintah mempertontonkan aksi saling telikung.
Maka, akibatnya pun sangatlah jelas. Apa yang dimaui pemerintah tidak pernah membekas secara kuat dalam hati masyarakat. Masyarakat lebih banyak menganggap penyataan-pernyataan itu sebagai angina lalu, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sebenarnya, hal ini bukan karena masyarakat tidak peduli atau tidak mau peduli. Namun, lebih karena pemerintah sendiri tidak pernah benar-benar memberi teladan bagaimana menjalankan konsep-konsep ideal tersebut.
Misalnya saja, jika masyakat yang memiliki mobil diwajibkan untuk memasang converter kit yang berguna untuk mengkonversi BBM ke BBG, siapa yang berani menjamin bahwa aparat pemerintah juga akan melakukan hal yang sama?

Pemimpin adalah teladan. Hal ini sudah tidak bisa dielakkan lagi. Artinya, apapun yang dilakukan oleh pemimpin akan sedikit banyak mempengaruhi masyarakat yang dipimpinnya. Jika seorang pemimpin memberikan contoh yang baik, bukan tidak mustahil, masyarakat juga akan melakukan hal yang sama. Namun, jika sebaliknya, masyarakat juga akan menirunya.
Dalam dalam satu semboyan pendidikannya, Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa ing ngarso sung tulodo (yang didepan memberi teladan). Meski kita mengenal semboyan ini dalam dunia pendidikan, namun tampaknya juga relevan untuk kita tarik dalam ranah kepemimpinan umum. Nah..apakah carut marutnya kehidupan berbangsa kita dipicu oleh perilaku pemimpin kita?
Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Ada banyak kemungkinan yang menjadi pemicunya. Namun begitu, kita sebagai masyakat tetaplah berharap bahwa pemimpin kita bisa menjadi teladan yang baik. Yang bisa menjadi anutan kita untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang tenteram dan sejahtera. Sederhananya, kita membutuhkan para pemimpin yang bisa memberi kita contoh bukan hanya mampu memerintah dan meminta.

Pemimpin diyakini sebagai manusia pilihan, setidaknya pilihan manusia, atau pemilihnya. Ia dipilih karena diyakini memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia memiliki apa yang tidak semua orang miliki. Maxwell dalam artikelnya mengatakan bahwa pemimpin itu seperti penjual yang menawarkan masa depan bagi pengikutnya, berupa visi dan misi. Dan karenanya, mereka berusaha merayu dan mempegaruhi banyak orang untuk “membeli” visi mereka. Berbagai cara pun digunakan untuk meloloskan tujuan ini, termasuk melakukan manipulasi.

Manipulasi ala pemimpin sudah bukan hal yang asing lagi dalam mendapatkan kekuasaan. Lihatlah, betapa banyaknya janji-janji yang terdengar indah semasa kampanye. Namun, ketika mereka sudah terpilih menjadi pimpinan, janji itu seperti menguap begitu saja, terlupakan atau bahkan mungkin sengaja dilupakan. Meski begitu, sebagai rakyat yang selalu mengidamkan kesejahteraan, ketentreman, dan kehidupan ideal lainnya, kita seringkali tidak menyadari bahwa kita sudah termakan oleh gaya manipulasi pimpinan kita. Kata-katanya yang indah, yang menghembuskan angin surga, mampu membuat kita terlena.
Lalu, bagaimanakah ciri-ciri dari pemimpin yang manipulatif?
Maxwell mengatakan bahwa ada tiga taktik yang digunakan oleh pemimpin yang manipulatif;

1.    Menyalahgunakan kekuasaan
Seseorang yang menjadi pimpinan seperti “dianugerahi” kekuasaan. Ia bisa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memuluskan semua tujuannya. Nah..pemimpin yang manipulatif akan memanfaatkan kekuasaan yang ia dapat untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok. Ia bisa saja membuat sebuah peraturan baru guna semakin memuluskan tujuannya. Atau, sebuah peraturan yang bisa menjegal lawan politiknya. Sederhananya adalah bagaimana kekuasaan yang ia dapatkan bisa dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga ia bisa menangguk keuntungan dari kekuasaan tersebut, bukan untuk kesejahteraan yang dipimpinya, melainkan untuk diri sendiri dan kelompok.

2.    Memalsukan dan menyembunyikan informasi
Guna mempengaruhi orang banyak, pemimpin yang manipulatif sengaja menyampaikan informasi yang hanya memberikan keuntungan pada pihaknya. Ia akan dengan lantang mengatakan tingkat keberhasilannya dalam mencapai sesuatu. Sementara kekurangannya selalu disimpan rapi bahkan jika mungkin dihilangkan sehingga tak seorangpun bisa tahu. Sederhananya, pemimpin yang manipulatif tidak akan bisa dengan sejujur-jujurnya memberitakan apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan harapan ia akan selalu dikatakan sebagai pemimpin yang berhasil.

3.    Memanfaatkan kebutuhan orang lain
Barangkali, cara paling mudah untuk meraih kepercayaan orang banyak adalah dengan memberikan janji-jani perbaikan terhadap apa yang sedang dibutuhkan oleh orang banyak. Ketika hanya sembako sedang tinggi, misalnya, janji menurunkan harga akan menjadi senjata yang sangat ampuh. Dan begitu seterusnya. Isu-isu ini sengaja diusung hanya untuk meraih simpati dan dukungan, bukan untuk sebenar-benarnya melakukan perbaikan. Tidak ada salahnya memang seorang pemimpin mengatakan akan melakukan perbaikan kesejahteraan rakyat, bahkan bisa jadi itu adalah keharusan karena itulah tugas pemimpin, namun, jika semua itu hanya merupakan janji yang tak pernah terbukti, maka itulah satu ciri pemimpin yang manipulatif.
Lalu, sekarang bagaimana dengan pemimpin di negara ini? Apakah mereka tergolong pada pemimpin yang manipulatif? Barangkali kita akan memiliki penilaian yang berbeda. Sah dan sangat wajar karena kita memiliki rasa yang berbeda.
____________________________________0000_________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar