MODEL KESTABILAN LAHAN UNTUK PERUNTUKKAN RUANG KOTA PADANG BERKELANJUTAN BERBASIS BENCANA LONGSOR
Dedi Hermon*)
ABSTRACT
The main objectives of this research are to evaluate and formulate land stability level zone and to formulate the destine of spatial planning. Evaluation and formulation of landstability level in Padang city, conducted using Geographic Information System (GIS) technique and MAFF-Japan model for landstability. Formulation of destine of spatial palnning was analysed using Geographic Information System (GIS) technique. The research result, show that there were four landstability zone levels in Padang city, high (18,613 ha), medium (15,256 ha), low (27,614 ha), and very low (7,633 ha), respectively.
Keywords: landstability, spatial planning, zones
PENDAHULUAN
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada setiap daerah/kota pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengendali perubahan tata guna lahan. Pengendalian perubahan tata guna lahan menjadi sangat penting karena luas lahan di suatu daerah sifatnya tetap sedangkan kebutuhan akan lahan menjadi semakin tinggi sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan suatu daerah. Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan suatu daerah, maka desakan terhadap perubahan ruang-ruang alami yang secara ekologis tergolong pada daerah penyangga juga akan semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan turunnya kestabilan lahan, sehingga pada saat musim hujan potensi terjadinya bencana longsor juga akan besar.
Longsor merupakan suatu fenomena alam yang selalu berhubungan dengan datangnya musim hujan, terjadi secara tiba-tiba dalam waktu yang relatif singkat pada suatu tempat tertentu dengan tingkat kerusakan yang sangat berat, bahkan kehilangan nyawa penduduk yang bermukim di sekitarnya (Sitorus, 2006). Menurut Utoyo et al. (2001) dan Canuti et al. (2003), bencana longsor selain diakibatkan oleh karakteristik wilayah, juga disebabkan oleh aktivitas manusia dalam hal pemenuhan kebutuhannya tanpa memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya alam. Dewasa ini, bencana longsor sering terjadi dan menghancurkan
*) Dosen Jurusan Geografi FIS UNP
permukiman serta sarana dan prasarana lainnya. Hal ini menimbulkan kerugian harta dan jiwa penduduk yang bermukim pada daerah tersebut, sehingga perlu penataan kembali permukiman penduduk ke kawasan yang bebas longsor (Virdin, 2001; Syahrin, 2003; Suryani dan Marisa, 2005; dan Martono et al., 2005).
BKSPBB Kota Padang (2007) menjelaskan bahwa dalam rentang tahun 1980-2007 sudah terjadi + 30 kali longsor melanda Kota Padang yang banyak menimbulkan kerugian harta, benda, dan jiwa penduduk. Lokasi kejadian longsor terdapat di kawasan Gunung Padang, yaitu di Bukit Lantiak, Bukit Gado-Gado, Bukit Mata Air, dan Bukit Air Manis. Selain itu, longsor juga terjadi di Bukit Gaung, Lubuk Minturun, Sitinjau Laut, Indarung, dan Bungus Teluk Kabung. Bencana tanah longsor yang terjadi di Bukit Lantiak pada tahun 1999 mengakibatkan 67 orang meninggal dunia dan puluhan rumah hancur. Tahun 2000 dan 2001 longsor kembali terjadi di Bukit Lantiak yang menewaskan puluhan jiwa. Bencana tersebut tergolong pada bencana tanah longsor yang cukup parah, sehingga dianggap sebagai bencana daerah Sumatera Barat dan Nasional.
Kota Padang merupakan ibu kota Sumatera Barat yang memiliki kondisi topografi yang relatif kasar, terutama pada bagian timur dan selatan Kota Padang, sehingga mempunyai potensi longsor yang relatif tinggi. Akibat terjadinya desakan akan ruang untuk permukiman dan kegiatan perkotaan, mengakibatkan ruang-ruang alami ada bagian timur dan selatan kota sudah digunakan untuk permukiman, sehingga mengurangi fungsi ruang dalam mempertahan fungsi ekologis dan daerah penyangga (buffer zone). Berdasarkan hal tersebut di atas, tujuan yang hendak di capai adalah merumuskan zona-zona kestabilan lahan untuk pencegahan longsor dan merumuskan zona-zona peruntukkan ruang Kota Padang berkelanjutan berbasis bencana longsor.
METODE
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ERDAS 8.6, GIS Arc View, 3.3 (Arc View Image Analysis), Microsoft Acces dan Microsoft Excel. Pendekatan analisis digunakan pendekatan pada alat analisis Power Sim. Jenis data digital yang digunakan adalah: (1) Citra Landsat TM+5 tahun 1985, Citra Landsat ETM+7 tahun 1995 dan Citra Landsat ETM+7 tahun 2006, (2) Peta Penggunaan Lahan, (3) RTRW Kota Padang, (4) Peta Jenis Tanah Kota Padang, (5) Peta Bentuk Lahan Kota Padang, (6) Peta Lereng Kota Padang, (7) Peta Geologi Kota Padang, dan (8) Peta Curah Hujan Kota Padang.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat data-data digital dari berbagai macam peta. Proses pengolahan citra dilakukan dengan ERDAS 8.6 dan GIS Arc View Image Analysis, yang meliputi: (1) koreksi radiometrik guna meminimalkan pengaruh tutupan awan, (2) koreksi geometrik untuk standarisasi citra ke dalam standar geodetik peta rupa bumi, (3) interpretasi dan klasifikasi jenis tutupan lahan, dan (4) konversi data citra ke dalam format vektor.
Metode analisis kemampuan alami kestabilan lahan untuk pencegahan longsor dilakukan melalui pendekatan keruangan dengan simulasi model MAFF-Japan (Ministry of Agriculture Forestry and Fishery-Japan) (Zain, 2002; Hermon, 2009), yaitu dengan model:
KL = P + 3 (LU) + 2 (S) + 2 (ST) + G + LF
Dimana:
KL : Kestabilan Lahan
P : Curah Hujan;
LU : Penggunaan Lahan;
S : Lereng;
ST : Jenis Tanah;
G : Tipe Geologi;
LF : Bentuklahan
Hasil simulasi model di korelasikan secara spasial dengan peta kesesuaian lahan sehingga diperoleh zona-zona peruntukkan ruang Kota Padang yang berkelanjutan berbasis bencana longsor.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil implementasi model analisis kestabilan lahan dalam pencegahan longsor di Kota Padang tahun 2006, diketahui bahwa terdapat 4 zona kestabilan lahan dalam fungsinya mencegah terjadinya longsor, yaitu: (1) zona kestabilan lahan tinggi (18.613 ha) dengan kondisi tanah sangat stabil sehingga kawasan ini aman dari bencana longsor, meliputi Kecamatan Padang Timur, Padang Utara, Padang Barat, Nanggalo, Koto Tangah bagian barat, Kuranji bagian barat, Lubuk Begalung bagian utara, Bungus Teluk Kabung bagian barat, (2) zona kestabilan lahan sedang (15.256 ha) dengan kondisi tanah kurang stabil sehingga longsor berpeluang terjadi 1 kali dalam setahun pada kawasan dengan kemiringan lereng >15%, meliputi Kecamatan Koto Tangah bagian tengah, Kuranji bagian tengah, Pauh bagian barat, Lubuk Kilangan bagian barat dan timur, Padang Selatan bagian timur, Bungus Teluk Kabung bagian tengah, (3) zona kestabilan lahan rendah (27.614 ha) dengan kondisi tanah tidak stabil sehingga peluang terjadinya longsor 1-2 kali dalam setahun, meliputi Kecamatan Koto Tangah bagian utara, Kuranji bagian timur, Pauh bagian utara, Lubuk Kilangan bagian timur, Padang Selatan bagian barat, Bungus Teluk Kabung bagian timur, dan (4) zona kestabilan lahan sangat rendah (7.633 ha) dengan kondisi tanah sangat sering mengalami longsor karena longsor lama dan longsor baru masih aktif bergerak akibat curah hujan tinggi dan erosi yang kuat, sehingga berpeluang longsor > 2 kali dalam 5 tahun, meliputi Kecamatan Koto Tangah bagian timur, Kuranji bagian utara, Pauh bagian timur, Padang Selatan bagian tengah, Lubuk Begalung bagian Barat.
Gambar 1. Sebaran Zona Kestabilan Lahan Kota Padang
dalam Mencegah Longsor
Berdasarkan hasil analisis citra Landsat TM+7 tahun 1985, citra Landsat ETM+7 tahun 1995, dan citra Landsat ETM+7 tahun 2006, kawasan-kawasan dengan kestabilan lahan rendah mengalami pertumbuhan ruang terbangun, terutama untuk permukiman dan sarana prasarana kota, yang terus berkembang dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2006 di Kota Padang. Pada tahun 1985, luas lahan terbangun pada kawasan kestabilan lahan tinggi adalah 4.720 ha, tahun 1995 meningkat menjadi 6.945 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 9.062 ha. Lahan terbangun pada kawasan kestabilan lahan sedang pada tahun 1985 adalah 874 ha, tahun 1995 meningkat menjadi 2.085 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 2.894 ha. Pada tahun 1985, luas lahan terbangun pada kawasan kestabilan lahan rendah adalah 714 ha, tahun 1995 meningkat menjadi 2.125 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 2.895 ha. Lahan terbangun pada kawasan kestabilan lahan sangat rendah pada tahun 1985 adalah 248 ha, tahun 1995 meningkat menjadi 930 ha, dan tahun 2006 meningkat menjadi 1.757 ha (Hermon, 2009). Terjadinya peningkatan luas lahan terbangun pada kawasan-kawasan dengan kestabilan lahan rendah dan sangat rendah disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah dalam pengendalian kebijakan tata ruang wilayah kota (RTRW Kota).
Gambar 2. Zona Peruntukan Ruang Kota Berbasis Keberlanjutan Ekologis Kestabilan Lahan untuk Pencegahan Longsor
Hasil analisis kestabilan dengan tingkat kesesuaian lahan, diperoleh 3 zona kawasan, yaitu: (1) zona A, yaitu kawasan sesuai menjadi lahan terbangun dengan kestabilan lahan tinggi, (2) zona B, yaitu kawasan sesuai menjadi lahan terbangun dengan kestabilan lahan sedang, dan (3) zona C, yaitu kawasan tidak sesuai untuk lahan terbangun.
Luas lahan yang sudah terbangun pada zona A (A1) adalah 9.062 ha dan luas keseluruhan zona A 18.613 ha, sehingga zona A (A2) yang masih bisa dikembangkan untuk lahan terbangun adalah 9.551 ha. Luas lahan yang terbangun pada zona B (B1) adalah 2.080,58 ha dan luas keseluruhan zona B 11.004 ha, sehingga zona B (B2) yang masih bisa dikembangkan untuk lahan terbangun dengan beberapa tindakan peningkatan kestabilan lahan dalam pencegahan longsor adalah 8.923,42 ha. Sedangkan zona C yang telah terbangun seluas 5.465, 42 ha. Karakteristik zona C yang tidak sesuai sebagai lahan terbangun dan berpotensi cukup besar terjadinya longsor, maka semua pembangunan pada zona C (5.462,42 ha) perlu direlokasi secara bertahap ke zona A atau zona B. Arahan peningkatan kestabilan lahan dalam upaya pencegahan longsor di Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Peruntukan Ruang dan Arahan Peningkatan Kestabilan Lahan dalam upaya Pencegahan Longsor
Zona | Luas (ha) | Arahan Peruntukan Ruang | Arahan Peningkatan Kestabilan Lahan dalam upaya Pencegahan Longsor |
A | 18.613 | Pembangunan permukiman dan sarana prasarana kota | |
A1 | 9.062 | Telah digunakan | |
A2 | 9.551 | Rekomendasi Pengembangan | 1. Pengawasan Kawasan |
| | | 2. Pengendalian Pemanfaatan |
| | | Kawasan |
B | 11.004 | Pembangunan permukiman dan sarana prasarana kota terbatas | |
B1 | 2.080,58 | Telah digunakan | 1. Pengawasan Kawasan 2. Pengendalian Pemanfaatan Kawasan |
B2 | 8.923,42 | Rekomendasi Pengembangan Bersyarat | 3. Analisis Geologi dan Kestabilan Lereng 4. Rekayasa Teknis untuk Memperkecil Kemiringan Lereng 5. Menerapkan Teknik Vegetatif 6. Terasering 7. Sistem Drainase yang Tepat |
C | 39.499 | Hutan Lindung | |
C1 | 813,42 | Telah digunakan untuk pembangunan permukiman | Relokasi |
C2 | 2.895 | Telah digunakan untuk pembangunan permukiman | Relokasi |
C3 | 1.757 | Telah digunakan untuk pembangunan permukiman | Relokasi |
C4 | 34.033,58 | Hutan Lindung | Pengawasan dan Pengendalian yang Ketat dari Pemerintah |
Sumber: Hasil Analisis Data Penelitian (2009)
Ket: A1, zona A yang telah digunakan untuk pembangunan
A2, zona A yang belum digunakan untuk pembangunan
B1, zona B yang telah digunakan untuk pembangunan
B2, zona B yang belum digunakan untuk pembangunan
C1, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor sedang) telah digunakan untuk pembangunan
C2, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor tinggi) telah digunakan untuk pembangunan
C3, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor sangat tinggi) telah digunakan untuk pembangunan
C4, zona C (tidak sesuai, bahaya longsor sedang-sangat tinggi) belum digunakan untuk
pembangunan
Zona A diperlukan pengawasan kawasan dan pengendalian pemanfaatan kawasan yang digunakan untuk pembangunan. Arahan peningkatan kestabilan lahan pada zona B juga lebih difokuskan dalam hal pengawasan kawasan dan pengendalian pemanfaatan kawasan yang digunakan untuk pembangunan. Selain itu perlu dilakukan analisis geologi dan kestabilan lereng, rekayasa teknis untuk memperkecil kemiringan lereng, menerapkan teknik vegetatif, terasering, dan sistem drainase yang tepat. Arahan peningkatan kestabilan lahan pada zona C adalah untuk hutan lindung dan lahan-lahan yang telah digunakan untuk pembangunan harus direlokasi karena tidak sesuai dengan pola peruntukan ruang untuk pembangunan permukiman dan sarana prasarana di Kota Padang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kestabilan lahan dalam kaitannya dengan pencegahan longsor di Kota Padang menghasilkan 4 zonasi, yaitu: (1) tingkat kestabilan lahan tinggi, luas kawasan 18.613 ha dengan kondisi tanah sangat stabil sehingga kawasan ini aman dari bencana longsor, (2) tingkat kestabilan lahan sedang, luas kawasan 15.256 ha dengan kondisi tanah kurang stabil sehingga longsor berpeluang terjadi 1 kali dalam setahun pada kawasan dengan kemiringan lereng >15%, (3) tingkat kestabilan lahan rendah, luas kawasan 27.614 ha dengan kondisi tanah tidak stabil sehingga peluang terjadinya longsor 1-2 kali dalam setahun, dan (4) tingkat kestabilan lahan sangat rendah, luas kawasan 7.633 ha dengan kondisi tanah sangat sering mengalami longsor karena longsor lama dan longsor baru masih aktif bergerak akibat curah hujan tinggi dan erosi yang kuat, sehingga berpeluang longsor > 2 kali dalam 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
[BKSPBB] Badan Kesejahteraan Sosial Penanggulangan Bencana dan Banjir Kota Padang. 2007. Laporan Bencana Kota Padang. BKSPBB. Kota Padang
Canuti, P., N.Casagli, and R. Fanti. 2003. Landslide Hazard for Archaeological Heritage: The Case of Tharros in Italy. Landslides News. 14/15: 40-43
Hermon, D. 2009. Dinamika Permukiman dan Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Kota Padang Sumatera Barat. Disertasi S3. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Martono, D.N., Surlan, dan B.T. Sukmana. 2005. Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang di Indonesia. http://io.ppi.jepang.org/article
Sitorus, S.R.P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap sebagai Kontrol terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Makalah. Lokakarya Penataan Ruang sebagai Wahana untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor. Jakarta. 7 Maret 2006
Suryani, R.L. dan A. Marisa. 2005. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Masalah Permukiman di Perkotaan. Program Studi Arsitektur. Fakultas Teknik USU. Medan
Syahrin, A. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press
Utoyo, B.S., E. Anwar, I.M. Sandy, R.S. Saefulhakim, dan H. Santoso. 2001. Analisis Keterkaitan antara Pertumbuhan Wilayah dengan Pola Perubahan Struktur Penggunaan Lahan. Forum Pascsarjana. 24: 159-162
Virdin J.W. 2001. Understanding the Synergies between Climate Change and Desertification. UNDP
Zain, A.F.M. 2002. Distribution, Structure dan Function of Urban Green Space in Southeast Asian Mega-Cities with Special Reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK). Doctoral Degree Program. Department of Agricultural and Environmental Biology Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The University of Tokyo. Japan
BIO DATA PENULIS
Nama Lengkap : Dr. Dedi Hermon, MP
NIP : 19740924 200312 1 004
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Tempat/Tanggal Lahir : Kepala Hilalang/24 September 1974
Pekerjaan : Dosen Jurusan Geografi FIS UNP
Alamat Kantor : Jurusan Geografi FIS UNP Kampus Air Tawar
Padang Sumatera Barat
Pendidikan Terakhir : Doktor, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PSL) IPB Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar