Minggu, 13 Maret 2011

Erodibilitas Tanah


ANALISIS ERODIBILITAS TANAH DENGAN METODE BOUYOUCOS UNTUK   ARAHAN   PERTANIAN   KONSERVASI   IDEAL 
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Dedi Hermon*)

ABSTRACT
Intention of this research is to study distribution of erodibilitas for the instruction of  conservation agriculture which have base  development of have continuation to pursuant to biosequent in Marapi West Sumatra and give solution about ideal and compatible conservation technique type used by farmer society to increase and maintain  erodibilitas in managing farm for the agriculture. Method the used i] method of survey with technique intake of sampel  by stratified random sampling. Result of research obtained by ideal conservation at permanent plant cover, sequental cropping+mulsa, and bench terrace+mulsa+waterway. While conservation which is not ideal to be applied is contur strip cropping, maximum tillage+intercropping, and bench terrace. Other pertained at conservation rather ideal.

Key Word :     biosequent, erodibilitas, stratified random sampling

PENDAHULUAN
Tanah merupakan bagian ekosistem, tempat manusia, hewan, dan tumbuhan melakukan aktifitasnya, sehingga sifat-sifat tanah selalu heterogen, dinamis, dan berbeda dari suatu tempat  dengan tempat yang lainnya. Wisaksono (1954); Buol, et al, (1980); Birkeland (1984); Mulyanto (1990); Darmawijaya (1990); Landon (1991), menjelaskan bahwa peran manusia sangat besar pengaruhnya  terhadap perubahan sifat-sifat tanah. Menurut Arsyad (1989), besarnya peran manusia dalam mempengaruhi sifat-sifat tanah diakibatkan oleh pertambahan penduduk yang cukup besar, sehingga kebutuhan akan pangan juga akan meningkat, didukung oleh meningkatnya perkembangan pembangunan dan kemiskinan yang menyebabkan timbulnya persaingan dalam penggunaan lahan dan pembukaan lahan baru di daerah upper DAS dengan melakukan penebangan liar pada hutan-hutan primer, yang seharusnya mempunyai hutan + 40% untuk dijadikan areal penyangga. Kemudian Rusman (1998), menambahkan bahwa sistem pertanian ini cepat menurunkan potensi biologis lahan, akibat tingginya intensitas pengikisan tanah permukaan oleh aliran permukaan (run off), sehingga daya dukung lahan menjadi menurun.
*)Dosen Jurusan Geografi Universitas Negeri Padang dan Mahasiswa Program Doktor PSL IPB
Pada lahan-lahan di lereng bawah Marapi yang merupakan daerah upper DAS dari Batang Anai sudah optimal dimanfaatkan untuk lahan pertanian, hal ini mengakibatkan daya dukung lahan sebagai daerah penyangga (buffer zone) akan menurun kalau tidak segera ditanggulangi dengan menerapkan sistem pertanian konservasi tanah yang ideal yang bisa mengembalikan daya tahan tanah terhadap proses pengahancuran dan penghanyutan. Pertanian konservasi ideal disini didefenisikan sebagai sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat (petani) yang menerapkan teknik-teknik konservasi dalam memanajemen lahan yang sesuai dengan daya dukung lahan secara berkelajutan. Hal ini tergantung dari kemantapan agregat tanah terhadap hancuran energi air hujan dan aliran permukaan. Daya tahan tanah terhadap penghancuran dan penghanyutan oleh air hujan dan aliran permukaan dikenal dengan erodibilitas tanah (Seta, 1991).
Pola penggunaan lahan di Marapi umumnya digunakan sebagai lahan pertanian, baik sebagai kebun campuran, holtikultura, maupun sebagai sawah. Selain itu penggunaan lahan juga untuk hutan, baik hutan primer maupun hutan produksi. Pada biosequent hutan yang umumnya berisikan bermacam vegetasi dan aktifitas didalamnya dan harus luasnya 40% dari luas areal, sudah terganggu secara intensif  oleh campur tangan manusia. Lahan-lahan yang semestinya hutan ini dibuka dan dijadikan sebagai areal pertanian. Jadi secara langsung, dengan merubah pola penggunaan lahan itu sendiri akan menyebabkan daya dukung lahan akan menurun (Deptan Sumbar, 2004). Jadi di Marapi terdapat dua biosequent dominant, yaitu biosequent hutan dan biosequent tanaman pertanian.
Teknik pertanian konservasi yang diterapkan oleh petani di Marapi saat ini sudah sangat beragam, seperti pembuatan teras, pergiliran tanaman, pemakaian mulsa, dan lain sebagainya. Pertanian konservasi yang sudah diterapkan tanpa melalui perencanaan yang benar-benar mantap, dengan kata lain pola penggunaan lahan yang diterapkan tidak sesuai dengan rencana penggunaan lahan yang direkomendasikan oleh pemerintah. Kesalahan-kesalahan pola dan teknik konservasi yang diterapkan oleh petani disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan petani dalam menyerap informasi yang diberikan oleh pemerintah, sehingga teknik-teknik pertanian konservasi yang diterapkan untuk kegiatan pertanian belum lagi berlandaskan pada IPTEKS, dengan kata lain, hanya dilakukan sesuai dengan keinginan dari petani itu sendiri. Dengan pengetahuan manajemen lahan yang rendah, mengakibatkan proses pengikisan dan penghanyutan tanah oleh run off  cukup intensif, ini terlihat dari banyaknya areal pertanian yang longsor, terbentuknya alur-alur bekas erosi, dan banjirnya Batang Anai pada saat hujan. Banjir Batang Anai pernah menghanyutan jembatan kereta api di Malibou Anai, ini terjadi pada tahun 1980. Kejadian ini sudah cukup memberikan informasi pada pemerintah bahwa lahan-lahan di daerah upper DAS (fisiografi Marapi-Singgalang) sudah rentan terhadap pengikisan dan penghanyutan, sehingga tidak lagi berfungsi sebagai buffer zone dengan optimal (Darmawijaya, 1990; Hermon, 2001).
Hal ini sangat berbahaya sekali kalau tidak segera ditanggulangi, karena kerusakan fisika tanah pada penggunaan lahan untuk pertanian yang telah memakai teknik konservasi tanah umumnya tidak diketahui, karena adanya anggapan bahwa lahan-lahan yang sudah dimanajemen dengan teknik dan strategi konservasi, tanah tidak akan rusak. Oleh karena itu perlu adanya analisis erodibilitas tanah untuk mengetahui terjadinya degradasi sifat-sifat tanah. Uji erodibilitas tanah dengan metode Bouyoucos merupakan metode sederhana yang dikembangkan pada tahun 1935 untuk menganalisis erodibilitas tanah. Metode ini cocok digunakan pada lahan-lahan relief heterogen dengan pola penggunaan lahan yang juga heterogen pada tanah-tanah yang terbentuk dari bahan tuff volkan (Seta, 1991). Dengan dilakukan analisis erodibilitas tanah akan diketahui tingkat daya tahan tanah terhadap penghancuran oleh butir hujan dan penghanyutan oleh aliran permukaan, sehingga pola penggunaan lahan yang berbasis manajemen konservasi tanah yang cocok dan ideal dapat diterapkan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei yang dilakukan secara deskriptif. Penentuan dan pengambilan sampel dilakukan secara Stratified Random Sampling dan biosequent dianggap sebagai stratum, dan sekuen vegetasi dari sistem pertanian konservasi yang ditemui pada lereng bawah gunung Marapi sampai pada ketinggian 1500 mdpl (pertanian konservasi yang dijadikan areal penelitian adalah areal pertanian konservasi yang telah dikelola dalam rentang 3-5 tahun). Pada masing-masing titik sampel dilakukan identifikasi data lahan dan data tanah penentu erodibilitas tanah. Macam analisis tanah (parameter yang diamati) dan metode yang digunakan adalah: (1) analisis tekstur tanah (3 fraksi) dengan metode ayakan tekstur, (2) analisis bahan organik tanah dengan metode pembakaran kering (Poerwowidodo, 1990), (3) analisis permeabilitas tanah dengan metode De Boot (1967)

HASIL DAN PEMBAHASAN
1.  Distribusi Erodibilitas Tanah untuk Arahan Pertanian Konservasi Ideal pada Biosequent Marapi

Analisis terhadap nilai erodibilitas tanah pada setiap teknik pertanian konservasi yang terdapat dilokasi penelitian adalah untuk menganalisis teknik pertanian konservasi yang ideal untuk diterapkan di lokasi penelitian. Hal ini untuk menghindari kerusakan tanah akibat proses penghancuran oleh butir hujan dan pengikisan serta penghanyutan oleh aliran permukaan (run off). Distribusi nilai erodibilitas pada setiap titik sampel dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 1. Distribusi Nilai Erodibilitas Tanah Lokasi Penelitian
Sampel
Tekstur (%)
Erodibilitas Tanah (K)
No
Teknik Pertanian Konservasi
Pasir
Debu
Liat

Nilai K
Kriteria
Standar
 Nilai K
K
untuk PK
K untuk PK.Ideal
1
Permanent Plant Cover**
17,8
40,7
41,5
1,4
Rendah
Sesuai
Ideal
2
Contour Strip Cropping                                     
41,4
32,8
25,8
2,9
Tinggi
Tidak Sesuai
Tidak Ideal
3
Contour Strip Cropping+Intercropping
37,8
29,5
32,7
2,1
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
4
Intercropping
36,9
32,7
30,4
2,3
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
5
Intercropping+Mulsa****
30,8
31,6
37,6
1,7
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
6
Sequental Cropping****
33,4
30,6
36,0
1,8
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
7
Sequental Cropping+Mulsa****
31,7
27,4
40,9
1,4
Rendah
Sesuai
Ideal
8
Maximum Tillage+Intercropping
52,0
33,0
15,0
5,7
Tinggi
Tidak Sesuai
Tidak Ideal
9
Minimum Tillage+Intercropping
20,0
47,5
32,5
2,1
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
10
Ridge Terrace+Intercropping
24,7
42,5
29,8
2,3
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
11
Bench Terrace
44,2
30,1
25,7
2,8
Tinggi
Tidak Sesuai
Tidak Ideal
12
Bench Terrace+Waterway
41,5
37,2
31,3
2,5
Sedang
Agak Sesuai
Agak Ideal
13
Bench Terrace+Waterway+Mulsa****
20,1
39,9
40,0
1,5
Rendah
Sesuai
Ideal
Sumber: Data Hasil Penelitian (2006)
Ket     : K, nilai erodibilitas tanah dengan metode Bouyoucos (1935);
             PK, pertanian konservasi; PK. Ideal, Pertanian Konservasi Ideal
            ** control untuk mengidentifikasi teknik pertanian konservasi ideal
            **** teknik pertanian konservasi ideal diterapkan di daerah penelitian
Distribusi nilai erodibilitas pada masing-masing teknik pertanian konservasi yang diterapkan berbeda-beda, dengan rentang kriteria nilai erodibilitas sesuai-tidak sesuai untuk pertanian konservasi, yaitu berkisar antara 1,4 – 5,7. Teknik pertanian konservasi dengan nilai erodibilitas kriteria sesuai dan ideal untuk selalu diterapkan di daerah penelitian adalah  Sequental Cropping+Mulsa dan Bench Terrace+Waterway+Mulsa. Sequental Cropping+Mulsa (K 1,4), mencirikan bahwa agregat tanah tahan terhadap pengancuran oleh benturan butir hujan dan pengikisan serta penghanyutan oleh run off. Mantapnya agregat tanah disebabkan oleh sistem pertanian yang selalu menutup tanah sepanjang tahun, baik oleh vegetasi pertanian yang diusahakan maupun oleh mulsa anorganik yang dipakai. Dengan pola menanam lahan dengan dua atau lebih jenis tanaman, dimana tanaman kedua atau ketiga ditanam setelah tanaman pertama panen, tanpa melakukan pengolahan tanah, sehingga sumber-sumber bahan organik sangat potensial sekali untuk membentuk agregat tanah yang mantap dan tahan terhadap hancuran butir hujan. Selain itu, peran mulsa di sini sangat besar sekali, yaitu untuk melindungi tanah dari hantaman butir hujan dan yang lebih penting adalah mengatur dan menstabilkan temperatur tanah, sehingga berpengaruh terhadap pelapukan sumber bahan organik tanah oleh mikroorganisme tanah dan sekaligus mempercepat proses pelapukan kimia dalam tanah. Dengan cepatnya proses pelapukan kimia dalam tanah, maka secara langsung akan mempercepat proses pembentukan liat. Menurut Shoji dan Ono (1978), liat sangat potensial sekali untuk membentuk agregat tanah yang mantap.
Sistem pertanian konservasi dengan Bench Terrace+Waterway+Mulsa (K 1,5) juga mencirikan agregat tanah yang mantap. Pertanian dengan memakai teras bangku (bench terrace) cocok sekali digunakan pada lahan yang mempunyai kemiringan >30%, hal ini dilakukan  untuk memperpendek panjang lereng serta mengurangi kekuatan dari laju run off. Mantapnya agregat tanah yang dicirikan dengan nilai K yang rendah disebabkan oleh dibuatnya saluran pembuangan air (waterway) pada sisi-sisi teras bangku dan pemakaian mulsa. Saluran pembuangan air berfungsi sebagai saluran untuk run off, agar run off menjadi aliran yang tidak membahayakan.
Teknik pertanian dengan kriteria agak sesuai dan agak ideal untuk diterapkan di daerah penelitian adalah Contour Strip Cropping+Intercropping, Intercropping, Intercropping+Mulsa, Sequental Cropping, Minimum Tillage+Intercropping, Ridge Terrace+Intercropping, dan   Bench Terrace+ Waterway  
Sistem pertanian konservasi dengan pola penanaman dengan pola lajur (strip) yang searah dengan garis kontur dan memotong lerang diaplikasikan dengan pola tumpang sari (Contour Strip Cropping+Intercropping K 2,1) agak ideal diterapkan di daerah penelitian. Nilai erodibilitas pada sistem pertanian konservasi ini umumnya dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme yang rendah pada awal-awal proses penanaman sehingga bahaya hantaman butir hujan dan run off sedikit agak intensif pada awal penanaman tersebut. Demikian pula halnya dengan system pertanian Intercropping (tumpang sari, K 2,3).
Intercropping+Mulsa (K 1,7) dan Sequental Cropping (K1,8), mencirikan bahwa agregat tanah agak tahan terhadap proses penghancuran dan penghanyutan oleh run off. Intercropping (tumpang sari) merupakan sistem pertanian konservasi dimana lahan ditanam dengan lebih dari satu jenis tanaman pangan (holtikultura) secara serentak. Terdapatnya nilai erodibilitas tanah dengan kriteria sedang disebabkan oleh diaplikasikannya mulsa setelah pengolahan tanah dan sebelum proses penanaman tanaman. Sedangkan Sequental Cropping, merupakan teknik turunan dari Multiple Cropping (penanaman berganda) yang merupakan sistem pertanian konservasi yaitu lahan ditanam dengan lebih dari dua jenis tanaman dimana tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama panen. Nilai erodibilitas tanah dengan kriteria sedang disebabkan oleh tidak diaplikasikannya mulsa dalam proses pengelolaan lahan.
Teknik pertanian konservasi Minimum Tillage+Intercropping, Ridge Terrace+Intercropping, dan   Bench Terrace+Waterway  merupakan teknik konservasi secara mekanik (fisika). Minimum Tillage+Intercropping (K 2,1), merupakan siystem pertanian dengan pengolahan tanah yang minimum dan diaplikasikan pola tumpang sari (intercropping) pada lahan. Dengan pola pengolahan tanah yang tidak intensif mengakibatkan temperatur dan kelembaban tanah selalu sesuai untuk mendukung aktivitas mikroorganisme tanah dalam mendekomposisi sumber bahan organik tanah, sehingga sumbangan bahan organik untuk memantapkan agregat tanah selalu ada.
Teknik Ridge Terrace+Intercropping (K 2,3) merupakan sistem pertanian konservasi dengan membuat teras kredit (ridge terrace) dengan bagian guludan dari teras kredit ditanami dengan tanaman penyangga. Kenyataan di lapangan, bagian guludan dari teras kredit ditanami dengan tanaman pangan (ubi jalar dan ubi kayu), sehingga guludan tidak berfungsi sesuai dengan fungsinya. Sedangkan teknik Bench Terrace+Waterway  (teras bangku dan saluran pembuangan air, K 2,5) sudah diterapkan tapi bagian dari saluran pembuangan air tidak ditanami dengan tanaman penyangga (rumput-rumputan).
Sistem pertanian konservasi dengan teknik,                                      Maximum Tillage+Intercropping, dan Bench Terrace tidak ideal untuk diterapkan di daerah penelitian. Teknik Contour Strip Cropping (K 2,9) merupakan teknik pertanian  dengan membuat lajur-lajur tanaman yang searah dengan garis kontur. Tidak idealnya teknik ini diterapkan di daerah penelitian adalah akibat terlalu lamanya tanah terbuka walaupun sudah ditanami dengan tanaman yang sejenis, hal ini jelas sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme, hantaman butir hujan, dan run off dalam meningkatkan aktivitas erosi. Demikian pula dengan teknik Maximum Tillage+Intercropping (K 5,7), yaitu teknik pengolahan tanah yang sangat intensif. Berdasarkan dari nilai erodibilitas tanah, teknik pengolahan tanah yang sangat intensif ini (maximum tillage) tidak sesuai diterapkan walaupun diaplikasikan dengan teknik konservasi yang lain.
Teknik pertanian konservasi Bench Terrace (teras bangku, K 2,8) juga tidak sesuai diterapkan di daerah penelitian. Teras bangku yang dibuat tanpa membuat saluran pembuangan air (waterway) jelas sangat berbahaya sekali terhadap kelestarian tanah, karena air hujan akan mengalir menjadi aliran yang membahayakan dan longsor pada lahan-lahan pertanian bisa terjadi.

2.      Hubungan Sifat-Sifat Tanah Pendukung dan Nilai Erodibilitas untuk Arahan Pertanian Konservasi yang Ideal

Analisis terhadap hubungan antara sifat-sifat tanah dengan nilai erodibilitas tanah pada setiap teknik pertanian konservasi yang terdapat dilokasi penelitian adalah untuk juga  menganalisis teknik pertanian konservasi yang ideal untuk diterapkan di lokasi penelitian dengan melihat karakteristik sifat-sifat tanah dan nilai erodibilitas. Hubungan antara sifat-sifat tanah dengan nilai erodibilitas pada setiap titik sampel dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
           Tabel 2.    Hubungan Sifat-Sifat Tanah dengan Indeks Erodibilitas
                             untuk Arahan Pertanian Konservasi yang Ideal

Sampel
C-org
(%)
P
(cm/jam)

Struktur

Kelas Tekstur
K
A.P.K Ideal

No
Teknik Pertanian Konservasi

DT
KR
DT
KR
DT
KR
DT
KR
DT
KR

1
Permanent Plant Cover
8,61
S
11,65
S
GP
S
SiC
S
1,4
S
Ideal

2
Contour Strip Cropping                                     
4,22
S
8,90
S
RM
AS
CL
S
2,9
TS
Tidak Ideal *

3
Contour Strip Cropping+Intercropping
5,67
S
9,55
S
RM
AS
CL
S
2,1
AS
Ideal **

4
Intercropping
4,21
S
6,71
S
RM
AS
CL
S
2,3
AS
Ideal **

5
Intercropping+Mulsa
4,00
S
7,98
S
RM
AS
CL
S
1,7
AS
Ideal **

6
Sequental Cropping
6,52
S
6,00
AS
RM
AS
CL
S
1,8
AS
Ideal **

7
Sequental Cropping+Mulsa
4,32
S
12,48
S
GP
S
C
S
1,4
S
Ideal

8
Maximum Tillage+Intercropping
1,88
TS
18,45
TS
GR
TS
SL
TS
5,7
TS
Tidak Ideal

9
Minimum Tillage+Intercropping
3,11
S
13,76
TS
RM
AS
CL
S
2,1
AS
Ideal **

10
Ridge Terrace+Intercropping
3,00
AS
12,78
TS
RM
AS
CL
S
2,3
AS
Ideal **

11
Bench Terrace
2,11
AS
17,23
TS
RM
AS
L
AS
2,8
TS
Tidak Ideal *

12
Bench Terrace+Waterway
2,02
AS
17,00
TS
RM
AS
CL
S
2,5
AS
Ideal **

13
Bench Terrace+Waterway+Mulsa
3,02
S
14,33
TS
GP
S
C
S
1,5
S
Ideal **

Sumber: Data Hasil Penelitian (2006)
Ket: DT, data; KR, kriteria;  P, permeabilitas; K, indeks erodibilitas;
       S, sesuai; AS, agak sesuai; TS, tidak sesuai
      GP, gumpal; RM, remah; GR, granular
      SiC, liat berdebu; CL, lempung berliat; C, berliat; SL, lempung berpasir; L, lempung
      Tidak Ideal *, tidak ideal dengan faktor pendukung
      Ideal**, ideal dengan keterbatasan sifat-sifat tanah
      A.P.K. Ideal, arahan pertanian konservasi ideal di daerah penelitian

Dari Tabel 2 di atas, terlihat  bahwa penerapan teknik pertanian konservasi ideal terdapat pada  Sequental Cropping+Mulsa dan pertanian konservasi ideal terbatas terdapat pada Contour Strip Cropping+Intercropping,     Intercropping, Intercropping+Mulsa, Sequental Cropping, Minimum Tillage+Intercropping, Ridge Terrace+Intercropping, Bench Terrace+Waterway, dan Bench Terrace+Waterway+Mulsa. Sedangkan teknik pertanian konservasi tidak ideal terdapat pada Contour Strip Cropping, Maximum Tillage+Intercropping, dan  Bench Terrace.                        
a.      Pertanian Konservasi Ideal untuk Diterapkan di Lokasi Penelitian
Sequental Cropping+Mulsa, merupakan teknik pertanian konservasi yang tergolong pada teknik konservasi secara vegetatif. Sequental Cropping merupakan menanam tananam pangan (holtikultura) lebih dari satu jenis tanaman dimana tanaman kedua ditanam langsung setelah tanaman pertama panen tanpa dilakukan proses pengolahan tanah. Dengan diaplikasikannya pemakaian mulsa membuat kelestarian tanah tetap terjaga dan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman juga optimal. Teknik pertanian konservasi ini sangat ideal diterapkan di daerah penelitian yang tergolong pada daerah upper DAS dari DAS Batang Anai yang rentan terhadap kritis kalau terjadi kesalahan dalam pengelolaan lahan untuk usaha pertanian.
Teknik ini mencirikan tanah selalu tertutup oleh vegetasi, sehingga tanah mempunyai sumber bahan organik yang cukup baik (C-organik 4,32%). Dengan tingginya kadar bahan organik tanah mengakibatkan tanah mempunyai kapasitas menyerap air dan menyimpan air yang seimbang (permeabilitas 12,48 cm/jam). Hal ini juga berpengaruh terhadap tekstur dan struktur tanah, sehingga nilai erodibilitas tanah juga menjadi rendah (K 1,4) dan tanah tahan terhadap penghancuran oleh butir hujan dan pengikisan serta penghanyutan oleh run off.
b.      Pertanian Konservasi Agak Ideal (Ideal Terbatas) untuk Diterapkan di Lokasi Penelitian

Teknik pertanian konservasi yang sudah diterapkan masyarakat dan tergolong pada teknik pertanian konservasi yang agak ideal atau ideal terbatas adalah teknik pertanian konservasi dengan memakai sistem Contour Strip Cropping+Intercropping,     Intercropping, Intercropping+Mulsa, Sequental Cropping, Minimum Tillage+Intercropping, Ridge Terrace+Intercropping, Bench Terrace+Waterway, dan Bench Terrace+Waterway+Mulsa.
Teknik pertanian konservasi ini dibatasi oleh sifat-sifat tanah dengan kriteria yang agak sesuai dan kriteria yang tidak sesuai untuk pertanian konservasi. Kurang sesuainya sifat-sifat tanah akibat perlakuan yang diberikan dalam mengelola lahan tidak benar-benar mengacu pada teknik-teknik konservasi serta tidak memperhatikan karakteristik fisik lahan, sehingga terjadi degradasi dari tekstur, permeabilitas, dan struktur tanah, yang secara langsung berpengaruh terhadap nilai erodibilitas tanah. Pembuatan lajur (jalur) yang searah dengan lereng (contour strip cropping) harus dibuat dengan perhitungan yang memperhatikan kelestarian tanah. Menurut Seta (1987), lebar strip dihitung berdasarkan rumus: L =  33-2 (S-10); S, merupakan persentase kemiringan lereng.  Teknik ini bisa ditingkatkan fungsinya menjadi teknik pertanian konservasi yang ideal apabila lebar strip yang dibuat harus mengacu pada perhitungan yang disarankan.
Teknik pengaplikasian mulsa dalam teknik pertanian konservasi sangat mendukung kemampuan tanah untuk mampu secara baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman dan kelestarian tanah, kalau dibandingkan dengan teknik pertanian konservasi yang tidak memakai mulsa. Selain itu, pembuatan teras kredit (ridge terrace) dan teras bangku (bench terrace)  akan berfungsi optimal kalau di aplikasikan saluran pembuangan air (waterway) dan mulsa.
c.       Pertanian Konservasi Tidak  Ideal untuk Diterapkan di Lokasi Penelitian
Karakteristik tanah daerah penelitian yang tergolong pada jenis tanah Andisols, mempunyai sifat yang mudah sekali terdegradasi kalau dalam pengelolaan lahan tidak benar-benar mengacu pada teknik konservasi tanah dan air. Teknik pertanian konservasi Contour Strip Cropping, Maximum Tillage+Intercropping, dan  Bench Terrace tergolong pada teknik pertanian konservasi yang tidak ideal diterapkan di daerah penelitian, walaupun ada beberapa sifat-sifat tanah yang tergolong mendukung untuk merubah fungsi yang tidak ideal menjadi agak ideal ataupun ideal.
Teknik pertanian konservasi dengan pola pengolahan tanah yang sangat intensif (maximum tillage) dapat mengakibat proses mineralisasi bahan organik  menjadi di percepat, sehingga kemantapan aggregat akan menurun. Menurunya kemantapan aggregat  akan berpengaruh langsung pada tingginya nilai erodibilitas tanah.              

DAFTAR PUTAKA

Arsyad, S, (1989), Pengawetan Tanah, IPB, Bogor

Birkeland, P.W, (1974), Pedology, Weathering, and Geomorphological Research, New York Oxford University Press, London-Toronto


Buol, S.W., F.D. Hole., and R.J. Mc. Cracken, (1980), Soil Genesis and Classification, Second Edition, The Iowa State University Press,Amess

Darmawijaya, M.I, (1990), Klasifikasi Tanah, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Hermon, D, (2001), Studi Kontribusi Penggunaan Lahan dan Vegetasi terhadap Karakteristik Epipedon, Thesis. PPS Universitas Andalas,. Padang

Mulyanto, B, (1990),  Some genetic Characteristics of Soils on Volcanic Ash from West Java Indonesia, Thesis, University of Ghent, Belgia

Rusman, B, (1998),  Konservasi Tanah dan Air, PPS Universitas Andalas, Padang

Seta, A.K, (1991), Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air, Kalam Mulia. Jakarta

Wisaksono, W, (1954), Ilmu Tubuh Tanah, Jakarta

Wischmeier, W.H., C.B. Johnson, and B.V. Cross, (1971), A Soil Erodibility Nomograph for Farmland and Construction Sites, J, Soil and Water Cons, 26. 5



Tidak ada komentar:

Posting Komentar