Selasa, 15 Maret 2011

Amanah vs Kerakusan

JABATAN
Dilema antara Amanah dengan Kerakusan

*Dedi Hermon, Dr

      Sesungguhnya jabatan itu amanah. Sesungguhnya pada hari kiamat ia menyebabkan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang dapat mengembangkan dengan baik dan menunaikan tugas amanahnya itu (HR Muslim). 
      Sahabat Nabi, Abu Dzar Al Ghifary, bertanya kepada Nabi, mengapa ia tidak diangkat untuk sesuatu jabatan. Jawaban Nabi adalah hadist seperti tersebut di atas. Makna yang terkandung dalam hadist Nabi tersebut akan membentuk persepsi seseorang mengenai jabatan. Jabatan adalah suatu kemuliaan, sebab jabatan adalah amanah atau kepercayaan. Apabila seseorang diberi jabatan pada hakikatnya ia dipercaya dan karena itu ia dimuliakan. 
      Tapi, amanah juga adalah tanggung jawab untuk melaksanakan dengan baik seluruh tugas yang ada dalam kewenangan jabatan tersebut. Bila hal itu tidak dipenuhi dengan baik, apalagi bila disalahgunakan, maka di hari kemudian ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Sebenarnya cukup bukti menunjukkan, mereka yang pernah menyalahgunakan jabatan, sudah merasakan kesedihan dan penyesalan itu di dunia. Mungkin kesedihan dan penyesalan akibat ia dihukum karena terjerat oleh hokum manusia. Mungkin kesedihan dan penyesalan yang dipendamnya sendiri akibat "hukuman" hati nuraninya. 

Tapi sayang, kebanyakan manusia dewasa ini, tidak berfikir panjang berkenaan dengan jabatan. Yang terbayang di balik jabatan hanyalah kemuliaan dan segala fasilitas yang bisa dinikmati karenanya. Fasilitas tersebut ada yang memang menurut aturan bias diperolehnya karena jabatan itu. Ada pula “fasilitas” yang diperolehnya dengan pemanfaatan yang salah, misalnya dengan cara kolusi atau korupsi.
      Banyak orang tergiur untuk mendapatkan sebuah jabatan. Banyak kenyataan menunjukkan bahwa tak lama setelah seseorang memegang suatu jabatan, kehidupan materialnya segera meningkat. Itulah sebabnya jabatan menjadi sesuatu yang diperebutkan. Apabila ketegasan dalam menindak penyalahgunaan rendah, maka akan tercipta budaya memperkaya diri melalui jabatan. Semakin menjadi-jadilah perlombaan dalam memperebutkan jabatan. Tapi anehnya gejala seperti ini juga malah banyak ditunjukkan oleh orang-orang yang mengaku dirinya beriman.
      Hadist Nabi di atas mengingatkan, bahwa jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan abadi apabila tidak dilaksanakan dengan baik dan jujur. Makna hadist Nabi itu memang hanya bisa dihayati dan dipedulikan oleh orang yang beriman. Hadist tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu "alat ukur" keimanan pada diri sendiri. Adakah seseorang beriman jika pada saat yang sama berebut jabatan dengan pamrih keuntungan pribadi atau kelompok?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar