Minggu, 13 Maret 2011

Gempa, Tsunami, dan Mitigasi Kota Padang


Gempa, Tsunami, dan Mitigasi
Dedi Hermon, Dr
Dosen Geografi UNP dan Pascasarjana UNP

Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia, selain termasuk wilayah Pacific ring of fire (deretan gunung berapi Pasifik), juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi tiga gerakan, yaitu gerakan sistem Sunda di bagian barat, gerakan sistem pinggiran Asia Timur, dan gerakan sirkum Australia. Faktor-faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi. Selama Januari 2010 saja tercatat sekitar 100 kali gempa dengan kekuatan >5 SR dan sejak tahun 2004 telah terjadi lebih dari 800 kali gempa yang berkekuatan >5 SR. Karena itu, Indonesia sangat membutuhkan sistem mitigasi bencana terpadu dan terintegrasi, sehingga  pemerintah dan masyarakat memiliki adaptasi dan antisipasi yang lebih baik terhadap perilaku alam, khususnya bencana gempa dan Tsunami.

§  Gempa Megathrust Blok Siberut
Prediksi akan  terjadinya gempa megathrust yang berpusat di Blok Siberut merupakan suatu keniscayaan yang belum tentu benar dan juga belum tentu salah. Gempa megathrust merupakan gempa besar (>7 SR) dengan pelepasan energi yang sangat besar secara sekaligus, sehingga menimbulkan getaran yang kuat dan relatif lama. Gempa megathrust dan tsunami yang menghancurkan Aceh (9,3 SR) pada tahun 2004 terjadi sekitar 8 menit, dengan bidang yang bergeser lebih dari 950 km ke bagian barat Banda Aceh dengan kedalaman 10 km. Pelepasan energi terus berlangsung pada pertemuan lempeng asia dan Australia melalui gempa-gempa yang cukup besar di Nias tahun 2005 (8,7 SR) dan  selatan Mentawai tahun 2007 (7,9 SR dan 8,4 SR) dan tahun 25 Oktober 2010 (7,2 SR), dan sebelum itu pelepasan energi terus berlanjut dengan gempa-gempa yang relatif kecil.
Para ahli sepakat mengatakan bahwa masih tersimpan energi yang  besar di blok Siberut yang mempunyai potensi yang sangat besar untuk terjadinya gempa megathrust dan tsunami yang dasyat. Seperti yang diprediksikan oleh para pakar gempa dunia dan ahli gempa dari LIPI, bahwa akan terjadi pelepasan energi yang sangat besar di blok Siberut yang akan menghasilkan gempa 8,9 SR. Yang menjadi pertanyaan, kenapa tidak dibulatkan saja menjadi 9,0 SR? atau 8,5 SR saja? Seolah-olah mereka sudah yakin saja dengan angka 8,9 SR? Apakah ditentukannya angka-angka tersebut sudah mempertimbangkan  besarnya energi yang telah dikeluarkan akibat tubrukan lempeng Asia dan Australia itu sejak tahun 2004 sampai sekarang? Apakah   blok   Siberut bisa menghasilkan
pergeseran bidang yang sama panjang dengan pergeseran yang terjadi akibat gempa megathrust Aceh? Melihat kenyataan tersebut tentu kecil peluang terjadinya gempa megathurst di blok Siberut, karena bidang yang belum bergeser  tidak mencukupi syarat terjadinya gempa megathrust, lama gempa bukan hitungan menit tapi besar kemungkinan cuma hitungan detik. Bagaimana dengan Tsunami kalau seandainya terjadi gempa di blok Siberut? Gelombang tsunami terlebih dahulu akan menghantam pesisir barat kepulauan Mentawai, Enggano, dan Nias, baru selanjutnya menghantam pesisir barat Sumatera. Tsunami sampai ke Kota Padang sekitar 30 menit setelah terjadinya gempa dengan ketinggian gelombang pertama, kedua, dan ketiga sekitar 2-6 meter selama sekitar 2,5 jam dan zona yang berbahaya sekitar 2 km dari garis pantai. Hal ini mengacu pada Tsunami akibat gempa 25 Oktober lalu di Mentawai, tinggi gelombang yang sampai ke Kota Padang hanya 30 cm.

§   Selat Mentawai
Bagaimana dengan potensi gempa di selat Mentawai dan Tsunami di Kota Padang? Selat Mentawai merupakan suatu wilayah yang terletak antara kepulauan Mentawai dengan pulau Sumatera, persisnya antara Pulau Siberut dengan Kota Padang. Potensi gempa juga sangat besar, hal ini sudah ditandai oleh terjadinya gempa Pariaman 29 September 2009 dengan kekuatan 7,6 SR dengan meluluhlantakkan sebagian besar propinsi Sumatera Barat. Seringnya muncul isu-isu akan terjadinya Tsunami yang sangat besar di Kota Padang, Pariaman, dan Painan kalau terjadi gempa di Selat Mentawai membuat masyarakat semakin ketakutan. Tapi gempa 29 september 2009 kok tidak terjadi Tsunami? Tidak semua gempa yang episentrumnya di laut akan selalu menimbulkan tsunami. Ada syarat-syarat untuk terjadinya tsunami, yaitu: (1) episentrumnya di laut, (2) kekuatan gempa >6,5 SR, (3) kedalaman hiposentrum <30 km, dan (4) terjadi dislokasi batuan secara vertikal. Untuk selat Mentawai, kedalaman hiposentrumnya >30 km (atau sekitar 60 km), jadi salah satu syarat terjadinya tsunami tidak terpenuhi. Dengan demikian potensi gempa di selat Mentawai ada, tapi potensi Tsunami sangat kecil. Namun kita harus waspada, Tsunami juga dapat dipicu akibat terjadinya longsor yang cukup luas di bawah laut akibat gempa, dan itu yang terjadi di Papua Nugini pada tahun 1998.

§  Perlunya Mitigasi Bencana yang Terintegrasi
Pentingnya mitigasi bencana untuk keselamatan masyarakat yang bermukim pada kawasan rawan bencana telah diamanatkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui Departemen Urusan Kemanusiaan   (DHA)    pada   bulan Desember 1991 agar memperkuat koordinasi bantuan kemanusiaan dan    menjamin     persiapan   yang lebih baik,
terkoordinir, dan cepat. Resolusi ini secara langsung telah di adopsi oleh banyak negara dengan melahirkan suatu aturan yang berupa undang-undang mitigasi bencana.
Mitigasi bencana gempa dan Tsunami yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu: (1) penilaian bahaya (hazard assestment), untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman, (2) peringatan (warning), untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana Tsunami yang akan mengancam, dan (3) persiapan (preparedness), membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Beberapa hal yang penting dipertimbangkan dalam melakukan mitigasi bencana gempa adalah: (1) gempa dapat menyebabkan kerusakan dan menghancurkan bangunan, sehingga dapat membunuh dan melukai orang-orang yang bertempat tinggal di situ. Gempa juga mengakibatkan tanah longsor, kebakaran, kecelakaan industri atau transportasi dan bisa memicu banjir lewat jebolnya bendungan-bendungan dan tanggul-tanggul penahan banjir, (2) memperhatikan kejadian gempa masa lampau  karena ada kecenderungan gempa bumi akan terjadi  lagi di daerah-daerah yang sama setelah masa seratus tahun, (3) mempunyai bahaya getar yang obsolut, jelas, dan tegas, tidak bisa di minimalkan, serta terjadi seketika, dan (4) elemen-elemen yang paling beresiko yaitu kumpulan-kumpulan bangunan yang lemah dengan tingkat hunian yang tinggi. Bangunan yang lemah adalah bangunan- bangunan yang didirikan tanpa perhitungan teknik sipil, tanpa diperkuat oleh kerangka, mempunyai atap yang berat, bangunan-bangunan yang dibangun diatas tanah yang lembek (rawa), serta pabrik-pabrik industri dan kimia berpotensi menghasilkan resiko sekunder.
 Berdasarkan hal tersebut, prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam  mitigasi gempa dan Tsunami adalah: (1) melakukan rekayasa bangunan tahan gempa, (2) untuk mitigasi bencana tsunami dengan membuat jalan-jalan evakuasi dan shelter, (3) tindakan terencana dalam membantu masyarakat mengurangi kerugian-kerugian ekonomi, seperti Asuransi Gempa dan Tsunami, (4) perlunya melembagakan mitigasi bencana sebagai upaya untuk mengurangi resiko bencana, (5) pendidikan, pelatihan dan kompetensi profesional, serta meningkatkan kekuatan politik perlu dilakukan sebagai upaya untuk melembagakan mitigasi bencana. Pelatihan profesional  para insinyur, perencana, ahli ekonomi, ilmuwan sosial, dan para lembaga lainnya untuk mengkaji dan mendalami potensi bahaya dan pengurangan risiko bencana, serta meningkatkan keterbukaan dengan para ahli internasional melalui pertukaran teknologi di dalam mitigasi bencana, dan (6) mengembangkan mitigasi bencana berbasis masyarakat, merupakan suatu kebijakan mitigasi bencana dengan mengembangkan kegiatan konsultasi dengan kelompok-kelompok masyarakat setempat, yaitu dengan menggunakan teknik-teknik penyuluhan dan pelatihan, sehingga mereka dapat mengorganisir diri mereka sendiri dan mampu mandiri dalam menghadapi bencana tanpa mengharapkan bantuan teknis dari lembaga lainnya. Program-program mitigasi bencana berbasis masyarakat dapat secara langsung mempengaruhi kekuatan mental dalam menghadapi bencana serta dapat meningkatkan kesadarannya akan bahaya-bahaya yang mereka hadapi, sehingga mampu melindungi diri sendiri pada saat bencana dan pasca bencana.
Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana gempa dan Tsunami. Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain: (1) kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana, (2) kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan, (3) indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik, (4) pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan, dan (5) meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar